KARIA ILMIAH

Minggu, 29 Januari 2012

Review FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Judul Buku : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Penulis : Dra. Zuhairini, dkk
Penerbit : Bumi Aksara
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 1992
ISBN : 979-526-084-7
Halaman : 208


Buku Filsafat Pendidikan Islam hasil karya Dra. Zuhairini dkk, menjelaskan tentang kajian-kajian yang ada dalam filsafat pendidikan Islam. Filsafat tidak bisa lepas dari dari kehidupan manusia, karena sejarah filsafat erat kaitannya dengan sejarah manusia pada masa lalu. Filsafat yang dijadikan sebagi pandangan hidup, erat kaitannya dengan nilai-nilai tentang manusia yang dianggap benar. Disini akan dibahas secara mendalam tentang fisafat Islam dari bebrapa aspek yang terdiri dari :
Bagian Petama : Kedudukan Filsafat Dalam Kajian Pendidikan.
BAB I.
Pada Bab pembahasan ini menampilkan pengetian Filsafat ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek bahasa, termenologi, sampai kepada aspek pengertian menurut pendapat para tokoh filosof baik muslim maupun barat.
Dalam memberikan pengertian filsafat menurut para ahli filsafat, Zuhairini dkk mengambil pendapat Sidi Gazalba yang meninjau term flsafat dengan menampilkan beberapa tokoh diantaranya: Plato, Aristoteles, Kant, al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi dan para filosof lainnya.
Selanjutnya buku ini menjelaskan perkembangan filsafat secara ringkas dalam bentuk piramida yakni keadaan filsafat dari konteks kekinian kemudian dijelaskan dalam konteks masa lalu. Walaupun pada akhirnya kembali lagi kepada keadaan kekinian (realitas filsafat saat ini).
Yang perlu dikritisi pada bagian ini adalah alinea terakhir pada halaman 8 yang menjelaskan bahwa filsafat telah berkembang dan berubah fungsinya dari sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of science) menjadi perekat kembali berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat yang menjadi terpisah satu dengan lainnya. Padahal kata perekat kembali dalam konteks realitas filsafat yang sudah menjadi berbagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak lagi berhimpun satu dalam filsafat adalah tidak tepat. Karena kata perekat adalah menyatukan kembali; sementara kontradiksi dengan realita yang dialami oleh filsafat yang sudah banyak berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu sebagai konsekuensi dari perkembangan filsafat.
BAB II. Analisa Filsafat dan Teori Pendidikan
Pada bab ini menampilkan dua sub pokok bahasan yakni analisa filsafat dalam masalaha pendidikan dan yang kedua adalah filsafat dan teori pendidikan.
Yang menarik dalam pandangannya adalah bahwa pendidikan formal disekolah hanyalah bagian kecil saja daripadaanya, tetapi merupakan inti dan tidak bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara keseluruhan.
Dalam uraian selanjutnya bahwa ternyata pendidikan saat ini telah berhadapan dengan berbagai macam problem sehingga memerlukan bantuan berbagai disiplin ilmu untuk memecahkannya. Dalam pada ini ditampilkan beberapa contoh yang realistis dan salah satunya adalah “apakah hakikat pribadi manusia itu?”.
Dalam menghadapi problem-problem yang muncul sedemikian itu, Zuhairini dkk mencoba memecahkannya dengan beberapa pendekatan diantaranya : pendekatan spekulatif, pendekatan normative, pendekatan analisa konsep, pendekatan analisa ilmia.
Pada sub pokok bahasan kedua, dikemukakan hubungan fungsional antara filsafat dengan teori pendidikan : yang intinya adalah: pertama, filsafat sebagai pisau analisis merupakan salah satu cara pendekatan yang dilakukan oleh para ahli pendidikan dalam memecaahkan problem pendidikan. Kedua, Filsafat berfungsi arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Ketiga, filsafat juga mempunyai fungsi memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori ilmu pendidikan.
Bab III. Aliran-aliran dalam Filsafa Islam
Pada bab ini membahas perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan dalam perspektif aliran-aliran filsafat pendidikan yakni: a)Aliran Progressivisme b)Aliran Essensialisme c)Aliran Perenealisme d) Aliran Rekonstruksinalisme e)Aliran Eksistensialisme.
Bagian Kedua : Konsep Islam Tentang Alam Dan Kehidupan Manusia
BAB IV. Hakikat dan Pengertian Islam
Bab ini dimulai dengan menampilkan pengertian Islam baik secara Etimologi maupun termenologi. Selain pengertian pada bab ini juga menampilkan sub Pokok bahasan diantaranya :
a. Islam sebagai gejala alami yang universal,
b. Islam Sebagai Agama Universal dan Eternal,
c. Islam sebagai sumber Ilmu Pengetahuan, dan
d. Pandangan Islam tentang Filsafat.
Dalam pembahasan ini dipaparkan bahwa pandangan Islam dalam hal ini ulama muslim lebih sepakat dengan pendapat salah satu guru filsafat Meisir yaitu DR. Ahmad Fuad al-Ahwani yang mengatakan bahwa filsafat itu sesuatu yang terletak diantara agama dan ilmu pengetahuan. Namun demikian juga dijelaskan bahwa ada segolongan ulama terutama ulama salaf yang walaupun tidak keberatan dengan pendapat ahwani, namun mereka tidak sependapat dengan adanya filsafat dalam Islam. Alasannya saangat jelas, bahwa filsafat dianggap bid’ah bahkan dapat menyesatkan.
BAB V. Hakikat Manusia
Bab ini menampilkan dua sub pokok bahasan yakni; pertama, berbagai pemikiran tentang hakikat manusia yang menampilkan 4 aliran yaitu: aliran serba zat (sesungguhnya yang ada itu hanyalah zat/materi), aliran serba ruh (Hakikat yang ada didunia ini hanyalah ruh), aliran dualisme (hakikat manusia terdiri dari zat materi dan ruh) dan aliran eksistensialisme (eksistensi wujud manusia sesungguhnya). Kedua, pandangan Islam tentang hakikat manusia. Dalam pandangannya diuraikan bahwa sesungguhnya manusia itu terdiri dari dua substansi yakni materi yang beraasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Pandangan ini diambil berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
BAB VI. Manusia dan Alam
Bab ini memaparkan hubungan manusia dengan alam merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tetapi bukan berearti manusia bukan seperti pribadi yang dari alam sekitarnya, melainkan bersama-sama dengan alam sekitarnya. Manusia diberikan potensi-potensi untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Dengan itulah para ahli filsafat memberikan sebutan kepada manusia seperti : homo sapiens (makhlik yang mempunyai budi), animal rational binatang yang berpikir), homo laquen (makhluk yang mencipta bahasa) dll.
Selain itu, dikemukakan juga pandangan Islam tentang alam serta kedudukan manusia dalam pandangan islam. Namun dalam pembahasannya tidak menampikan hal yang baru karena hanya terpaku pada pandangan yang bersifat normative saja sebagaimana pada umumnya. Kedudukan manusia dijabarkan kedalam tujuh poin yang menurut saya adalah penjabaran dari dua kedudukan manusia yakni sebagai Abdullah dan khalifatullah. Penulis buku ini nampaknya tidak sistimatis karena pada poin 3 disebutkan kedudukan manusia sebagai khalifatullah namun tidak menampilkan secara jelas kedudukan manusia sebagai abdullh.
BAB VII. Konsep Islam Tentang Kehidupan Manusia
Dalalm bab ini membahas dua hal yaitu; pertama, pendidikan sebagai gejala dan kebutuhan manusia, apenulis menyoroti bahwa pendidikan adalah keniscayaan bagi manusia. Alasannya adalah manakala manusia tidak diberi pendidikan (dalam semua dimensi) maka manusia tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti. Penulis mengutip pendapat salah satu tokoh yang berpendapat sama yakni Emmanuel Kant yang mengatakan bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan. Kedua, pandangan Islam tentang pendidikan. Ada beberapa ayat yang dikutip dalam menegaskan pandangan islam tentang pendidikan diantaranya QS. At-Taubah ayat 122, al-Maidah ayat 67 serta beberapa ayat yang lainnya yang intinya Islam mendorong umatnya untuk menjadi umat yang pandai. Sekali lagi dapat dikritisi bawah hanya menuangkan landasan normative saja sebagai argument tanpa ada pandangan lain secara argumentatif.
Bagian Ketiga : Filsafat Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem
BAB VIII Filsafat Islam dan Pendidikan
Bab ini menjelaskan bahwa filsafat dan berfilsafat dalam dunia Islam sudah dikenal dan bahkan sudah dikerjakan sebealum istilah filsafat dan bukunya di pelajari dan diterjemahkan oleh para filosof muslim. Hal ini karena filsafat di dalam Islam sering dipakai bergantian dengan kata al-Hikmah, sementara al-Hikmauh sumber utamanya ada dalam al-Qur’an.
Selain penjelasan asal kata filsafat dalam Islam, bab ini juga menguraikan beberapa hal diantaranya:
a) Sistem filsafat dalam islam
b) Pendidikan dan Filsafat Islam
c) Filsafat Pendidikan Islam
Selanjutnya diuraikan bahwa untuk mngetahui jawaban hakikat , yang ada dan problem lain yang dihadapi manusia tentunya diperlukan pemikiran yang mendalam (dalam siatilah filsafat) atau Ijtihad dalam istilah Islam.
BAB IX. Metode dan Peranan Filsafat Pendidikan Islam
a) Metode Filsafat Pendidikan Islam
Disini dikemukakan bahwa metode yang digunakan dalam memecahkan problem yang dihadapi pendidikan dalam Islam adalah: metode spekulatif dan komparatif, Pendekatan normative, analisa konsep, pendekatan histori, pendekatan ilmiah dengan menampilkan satu ayat al-Qur’an, pendekatan dalam system filsafat Islam.
b) Peranan Filsafat Pendidikan Islam
Disini diuraikan secara singkat peranan filsafat pendidikan Islam diantaranya: pertama, meberikan solusi jawaban atas problema pendidikan Islam, kedua, memberikan pandangan tertentu tentang manusia menurut Islam, ketiga, menjelaskan tentang adanya fitrah (potensi bawaan) yang harus dikembangkan dalam diri manusia. Keempat, memberikan informasi pendidikan islam yang ideal.
BAB X. Perkembangan dan Pemikiran-Pemikiran Baru dalam Pendidikan Islam
1. Perkembangan pemikiran/filsafat pendidikan Islam
Pada bagian ini memaparkan bagaimana perkembangan pemikiran maupun filsafat Islam. Setidaknya ada dua aliran yang memiliki pandangan berbeda mengenai freedom of free manusia yakni Jabariyah dan Qadariyah dengan argument masing-masing. Pada sisi lain juga dijelaskan bahwa selain karena kedua aliran tersebut yakni Jabariyah dan Qadariyah yang memulai munculnya perbedaan pandangan juga munculnya berbagai aliran dalam pemikiran Islam bermula dari perbedaan pandangan filosofis tentang kalam Allah, hakikat iman dan dosa besar dan lain-lain. Perbedaan pandangan yang mencolok dalam hal ini adalah antara Asy’ariyah dengan Mu’tazilah.
2. Pemikiran-pemikiran baru dalam pendidikan Islam
Dalam sub ini digambarkan bahwa perkembangan pemikiran Islam dalam tataran filosofis terbagi dua yakni pandangan filosofis yang sufistis dan pandangan filososfis yang rasinalis. Kedua pandangan ini berebut pengaruh sehingga pandangan filosofis sufistis mendapat apresisasi pada aumat Islam dibagian timur. Sementara umat Islam dibagian barat lebih condong kepada pandangan fislosofis yang Rasionalis. Dibagian timur nampaknya terpengaruh oleh pemikiran yang dikembangkan oleh Imam Al-Gazali. Sementara dibagian barat lebih mengikuti pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd.
Implikasi dari dua apresiasi yang berbeda dikalangan Umat Islam melahirkan kesenjangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dalam hal ini ternyta lebih maju sehingga terjadilah penjajahan barat terhadap dunia timur. Ini berarti bahwa filosofis rasionalis yang dicetuskan oleh Islam mengalahkan filososfis sufistis yang juga dikembangkan oleh Islam. Namun demikian dijelaskan juga bahwa pada abad 19 mulailah dunia Islam bergeliat bangkit dari ketertinggalan ditandai dengan munculnya pemikiran pembahwaru dalam dunia Islam seperti Muhammad Ali Pasya dimesir dan gerakan Turki Muda di Turki dll.
Bagian Keempat: Konsep-konsep Filosofis Tentang Pendidikan Islam
BAB XI, Arti, Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
a. Konsep filosofis tentang arti pendidikan Islam.
Dalam sub ini dijelaskan berbagai pengetian pendidikan dengan berbagai pandangan tokoh pendidikan. Namun term pendidikan disini masih secara umum karena belum mengarah kepada pendidikan Islam itu sendiri. Dalam hal ini pndidikan Islam sendiri diartikan sebagai usaha yang diariahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga segala aktivitasnya tercermin nilai-nilai Islam.
b. Analisa tentang Dasar-dasra Pendidikan Islam
Disini dungkapkan ada dua dasar pendidikan Islam yang paling mendasar yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun urutan prioritas pendidikan tersebut adalah Pendidikan keimanan, pendidikan akhlakul karimah, dan pendidikan ibadah.
c. Analisa tentang Tujuan Pendidikan Islam
Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhir. Dalam hal ini penulis buku mengungkapkan tidak cukup dengan tujuan tersebut karena sangat normative dan belum operatif. Oleh sebab itu perlu dirnci dalam btuk tujuan khusus dan tujuan umum sehingga dengan demikian dapat tergambar secara luas yang dikehendaki oleh pendidikan Islam.
BAB XII: Konsepsi Islam mengenai beberapa Faktor Pendidikan
a. Konsepsi Islaam tentang Pendidikan.
Dalam uraian ini dipaparkan beberapaa syarat bagi seorang pendidik. dalam hal ini harus ditinjau kembali dengan kondisi kekinian karena nampaknya akan menjadikan orang tertentu termarginalkan sebab tidak cukup syarat. Hal ini juga bertentangan dengan free distination yang dikembangkan melalui pendidikan inklusif.
b. Konsepsi Islam tentang anak
Disini ditampilkan sebuah hadits Rasul sebagai landasan bahwa anak bagi islam memiliki berbagai firtah. Oleh karena itu orang tua berperan penting dalam pengembangannya. Fitrah yang ada sebaiknya pertamakali dikembangan dengan kehidupan beragama sebagai basic kontrolnya.
c. Konsepsi Islam tentang Lingkungan, dalam pandangan Islam lingkungan sangat berperan dalam pembentukan peserta didik.
d. Konsepsi Islam tentang lembaga Pendidikan, yang dimaksud disini adalah lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama, sekolah sebagai foloow up dari pendidikan keluarga, dan yang terakhir adalah masyarakat dengan berbagai ragam dan bentuknya.
e. Konsepsi Islam tentang Alat Pendidikan, alat pendidikan yang dimaksud adalah segala tingkah laku atau perbuatan teladan, anjuran atau perintah, larangan, dan hukuman.


BAB XII: Konsepsi Islam tentang Pribadi Muslim
a. Kepribadian Muslim, dalam hal ini dijelaskan bahwa kepribadian muslim yang dimaksdukan adalah keperibadian yang juga sesuai dengan tujuan kepribadian yang dikehendaki oleh Negara Indonesia yakni kepribadian manusia yang seutuhnya.
b. Konsep Tentang Sifat-sifat Manusia, terdiri dari manusia sebagai individu, manusia sebagai social, dan manusia dalam tataran moral dan terakhir adalah manusia sebagai makhlik bertuhan
c. Konsepsi Tentang Pribadi Muslim, dalam hal ini dipaparkan pribadi muslim yang sesuai dengan al-Qur’an terdiri dari 14 poin yang intinya adalah cerminan dari iman, akhlak dan ibadah (baik mahdha maupun ghairu mahdha). Daqlam hal ini juga diungkapkan beberapa cirri sifat seorang muslim yakni : sidiq, amanah, sabar, ittihad, ihsan, ri’ayatul jiwar, wafa bil ahdi, tawasau bilhaq, ta’awun, athfi alad-dha’if, muwasatil faqier, serta rifqi.
Semua ciri tersebut sebenarnya juga tercermin dalam pribadi muslim yang sesuai dengan yang dikehendaki dalam tujuan akhir pendidikan Islam didunia ini. Tentunya implikasi yang diharapkan adalah kebahagian diakhirat kelak.
Banyak sekali hal-hal yang yang menarik pada buku ini, yang belum kami dapatkan dari buku lain. Namaun cukuplah jelas apa yang disampaikan dan mudah dipahami dengan bahasa yang ringkas dan lugas sehingga mudah dicermati oleh para pembacanya.
Tidak lupa dalam buku ini juga memaparkan para pemikir filsafat pendidikan Islam sebagai khasanah keilmuan bagi para pembancanya seperti Aristoteles, kant, al-Farabi, Ibnu Maskawayh, dan lainnya sampai pada pemikir filsafat Nusantara. Juga membeberkan karangan-karangannya yang telah membawa kejayaan bagi dunia pendidikan Islam.
Saya mendapatkan banyak mendapatkan manfaat dan khasanah keilmuan dari buku karangan Dra. Zuhairini, dkk. Satu kaya besar yang telah di tulis olehnya, untuk para pembaca.

Demokrasi Dalam Pendidikan

A. Pendahuluan
Pendidikan dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi. Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah yang memegang peranan penting sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini. Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive acceptance). Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri.
B. Topik Pembahasan
1. Perjalanan Kebijakan Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis–kalau tidak dapat disebut liberal–ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri–dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya.
Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri”. Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan otoriter” demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini "too much science too little faith", lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
2. Demokratisasi dan Desentralisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah baik pusat maupun daerah.
3. Urgensi Desentralisasi Pendidikan
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.
C. Penutup
Kerana demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa reformasi sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat ini. Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca orde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yangmenentukan kiprah bangsa ini di masa depan. Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegarayang menuju kearah civil society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi, pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsa atau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun, termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang.
Wallahu’alam bisshowab.

Daftar Pustaka
• Alisjahbana, Armida S. “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”, Bandung : FE Universitas Padjadjaran, 2000
• Budiono, “Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Pendidikan”, Jakarta: Pusat Penelitian Sains dan Teknologi, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
• Patrinos, Harry A. dan David L. Ariasingam, “Decentralization of Education: Demand-Side Financing”, Washington DC: World Bank, 1997
• Republik Indonesia, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Oktober
• Suryadi, Karim, “Demokratisasi Pendidikan Demokrasi”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999

Sabtu, 28 Januari 2012

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Penulis: Drs. Hasbullah

Tidak dapat disangkal bahwa Islam merupakan komponen penting yang turut membentuk dan mewarnai corak kehidupan masyarakat Indonesia. Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini merupakan prestasi luar biasa. Hal ini terutama bila dilihat dari segi letak geografis, dimana jarak Indonesia dengan egara asal Islam, jazirah Arab cukup jauh. Apalagi bila dilihat sejak dimulainya proses penyebaran Islam itu sendiri di kepulauan nusantara ini, belum terdapat suatu metode atau organisasi memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas.
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul egara madrasah yang teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini.
Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia
Akselerasi dan dinamika penyebaran Islam tersebut disebabkan oleh factor-faktor khusus yang dimiliki oleh Islam pada periode permulaannya. Dimana kita mengetahui ajaran Islam baik akidah, syariah, dan akhlaknya mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat dan dapat diamalkan secara luwes dan ringan.
Sejarah pendidikan Islam bukanlah ilmu berdiri sendiri namun merupakan bagian dari sejarah pendidikan secara umum. Sejarah pendidikan merupakan uraian sistematis dari segala sesuatu yang telah dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan pendidikan pada waktu yang telah lampau. Sejarah pendidikan menguraikan perkembangan pendidikan dari dahulu hingga sekarang. Oleh karena itu, sejarah pendidikan sangat erat kaitannya dengan beberapa ilmu antara lain:
• Sosiologi
Interaksi yang terjadi baik antara individu maupun antara golongan, dimana dalam hal ini menimbulkan suatu dinamika. Dinamika dan perubahan tersebut bermuara pada terjadinya mobilitas sosial semua itu berpengaruh pada sistem pendidikan Islam. Serta kebijaksanaan pendidikan Islam yang dijalankan pada suatu masa.
• Ilmu Sejarah
Membahas tentang perkembangan peristiwa-peristiwa atau kejadian–kejadian penting di masa lampau dan juga dibahas segala ikhwal “orang-orang besar” dalam struktur kekuasaan dalam politik karena umumnya orang-orang yang besar cukup dominan pengaruhnya dalam menetukan sistem, materi, tujuan pendidikan, yang berlaku pada masa itu.
• Sejarah Kebudayaan
Dalam hubungan ini pendidikan berarti pemindahan isi kebudayaan untuk menyempurnakan segala dan kecakapan anak didik guna menghadapi persoalan-persoalan dan harapan-harapan kebudayaannya, pendidikan Islam adalah usaha mewariskan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Oleh karenanya mempelajari sejarah kebudayaan dalam rangka memahami sejarah Islam adalah sangat penting.
Kondisi Masuk dan Berkembanganya Islam di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/I H. Tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. Perluasan Islam ditandai berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian Timur. Islam masuk ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke Islam, secara umum nerlangsung dengan damai.Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, mengatakan bahwa ada tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia, yaitu:
a) Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Esa.
b) Karena daya lentur (Fleksibelitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kondifikasi nilai-nilai yang universal.
c) Pada gilirannya nanti, Islam oleh masyarakat Indonesia di anggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh barat yang melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis kemudian Belanda, mengobarkan penjajahan dan menyebarkankan agama Kristen.
Sistem Pendidikan Langgar
Pada hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin, mereka mendirikan masjid untuk tempat mengerjakan shalat Jum’at, dan juga pada tiap-tiap kampung mereka mendirikan surau atau langgar untuk mengaji al-Qur’an dan tempat mengerjakan shalat lima waktu.
Pendidikan Islam di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari al-Qur’an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebut ‘amil, modin atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari atau petang hari sampai satu dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.
Anak-anak belajar dengan guru sambil duduk bersila dan belum memakai bangku atau meja. Guru pun duduk bersila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti pada masa sekarang.
Pengajian al-Qur’an pada pendidikan di Langgar dibedakan pada dua macam, yaitu :
1. Tingkatan rendah, merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenai huruf al-Qur’an sampai bisa membacanya diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat shubuh.
2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, tajwid serta mengaji kitab perukunan.
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna al-Qur’an tersebut.
Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, dimana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru/kyai, dan sistem halaqah yakni seorang guru/kiai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.
Sistem Pendidikan di Pesantren
Ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, masjid dan pondok
Tujuan terbentuknya Pondok pesantren
• Tujuan Umum; Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaliq Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
• Tujuan Khusus; Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan mengamalkannya dalam masyarakat.
Organisasi Dan Pendidikan Islam Di Indonesia
a. Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan. Belum terkoordinir dan terpusat seperti sekarang. Sebab, setiap daerah berusaha melancarkan pendidikan dan pengajaran Islam menurut daerah masing-masing. Karena itu, corak pendidikan Islam suatu daerah berbeda dengan pendidikan daerah lainnya. Misalnya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya.
b. Datangnya Orang-orang Barat Eropa
Diberikannya pendidikan agama pada waktu itu bertujuan untuk:
• Mengajak manusia berbuat baik, patuh menjalankan agama secara bersungguh-sungguh dalam arti mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya;
• Menjaga tradisi, maksudnya sesuatu yang dianggap penting dan diperlukan oleh keluarga dan masyarakat, harus diturunkan dan diajarkan kepada anak-cucu secara turun temurun sebagai regenerasi.
Tujuan Persekolahan Secara Umum
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang
Kegiatan sehari-hari sekolah, antara lain:
1) Mengumpulkan batu dan pasir, untuk kepentingan perang;
2) Membersihkan bengkel-bengkel, asrama militer;
3) Menanam umbi-umbian, sayur-sayuran di pekara-ngan sekolah untuk persediaan makanan;
4) Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas.
Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidi-kan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun Swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945 yang menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakekatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdaan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah”.
Kenyataan demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab, pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit. Ini setidaknya disebabkan karena dua hal:
a. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonisl amat diskriminatif terhadap kaum muslimin;
b. Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda dengan memfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikannya adalah suatu bentuk penyelewengan agama.
Tetapi setelah kemerdekaan Indonesia dicapai, terjadi perubahan yang sangat radikal dalam pendidikan Islam, termasuk berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi-organisasi sosial Islam.
Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan II (1965- Sekarang)
a) Masa Peralihan Orde Lama ke Ore Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G30 S/PKI pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan Orde Baru.
Orde baru adalah :
• Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dari UUD 1945.
• Memperjuangkan adanya masyarakat yang adil dan makmur, baik material dan spiritual melalui pembangunan.
• Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Menurut UU Nomor 2 tahun 1989 tersebut, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini, mengusahakan :
a. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
b. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.
b. Keberadaan Pendidikan Agama Islam.
Sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari sekolah dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum Negri di seluruh Indonesia. Pemerintah dan rakyat membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut, kehidupan pendidikan beragama dan pendidikan agama khususnya, makin memperoleh tempat yang kuat dalam struktur organisasi pemeritahan dan dalam masyarakat pada umumnya.
Pembangunan nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasihan keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal kedniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, dengan sesame manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti itu menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.
Sasaran pembangunan jangka panjang dalam bidang agama adalah terbinanya keimanan bangsa Indonesia kepada Tuhan yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara Ilahiah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong, sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
c. Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Nasional.
Adanya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional tersebut, dapat kita lihat dari beberapa padal, diantaranya sebagai berikut :
a. Pasal 1 ayat 2, yaitu, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada UUD 1945. tidak bisa dipungkiri bahwa Pendidikan Islam, baik sebagai sistem maupun instrusinya merupakan warisan budaya bangsa, yang berurat akar pada masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
b. Pasal 4 tentang Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu : pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap TuhanYang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur.
c. Pada pasal 10 dinyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya,nilai moral dan keterampilah. Kita ketahui bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan ulama, menurut ajaran Islam.
Organisasin dalam Islam
A. Jami’at Khair
Jami’at Khair didirikan pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta. Usaha dari organisasi ini dipusatkan pada pendidikan, dakwah dan penerbitan surat kabar
Hal-hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini yaitu:
a. Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar.
b. Pengiriman anak-anak ke Turki untuk melanjutkan studinya.
Bidang kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas umpamanya, sudah diatur dan disusun secara terorganisasi, sementara itu bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Adapun bahasa Belanda tidak diajarkan dan sebagai gantinya bahasa Inggris yang dijadikan pelajaran wajib. Dengan demikian, terhimpunlah anak-anak dari keturunan Arab, ataupun anak-anak Islam dari Indonesia sendiri.
B. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi Islam, social, dan kebangsaan. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Djulhijah 1330 H oleh KH Ahmad Dahlan.
Usaha Muhammadiyah di Bidang Pendidikan
Yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
a. Tajdid; kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan.
b. Kemasyarakatan; antara individu dan masyarakat supaya diciptakan suasana saling membutuhkan. Yang dituju adalah keselamatan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
c. Aktivitas; anak didik harus mengamalkan semua yang diketahuinya dan menjadikan pula aktivitas sendiri sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan yang baru.
d. Kreativitas; anak harus mempunyai kecakapan atau keterampilan dalam menentukan sikap yang sesuai dan menetapkan alat-alat yang tepat dalam menghadapai situasi-situasi baru.
e. Optimisme; anak harus yakin bahwa dengan keridhaan Tuhan, pendidikan akan membawanya kepada hasil yang dicita-citakan, asal dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menyimpang dari segala yang digariskan oleh agama Islam.
C. Nahdlatul Ulama (NU)
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran NU membentuk satu badan khusus yang menanganinya yang disebut Ma’arif, dimana tugasnya adalah untuk membentuk perundangan dan program pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif, antara lain:
a. Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljama’ah.
b. Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan berkerja sama dengan pihak untuk lebih baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi, uang kesemuaannya adalah perwujudan pengabdian kepada Allah.
c. Menciptakan sikap hidup yang berorietasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan.
d. Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis.
D. Al-Irsyad
Al Irsyad merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpinan Al Irsyad Jakarta dengan tokoh pendirinya Ahmad Surkati al-Anshari. Tujuan perkumpulan ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab. Dalam bidang pendidikan, al-Irsyad mendirikan madrasah: Organisasi Islam ini merupakan perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia. Kehadiran perserikatan ini adalah inisiatif KH. Abdul Halim pada tahun 1911. Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan dearah operasi ke seluruh Jawa dan Madura.
D. Persatuan Islam (Persis).
Persis memberikan perhatiannya yang sangat besar di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan ini Persis mendirikan sebuah madrasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak anggota Persis. Akan tetapi kemudian madrasah ii diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain. Selanjutnya pada tahun 1927, sebuah kelas khusus atau yang lebih tepatnya disebut kelompok diskusidiorganisai untuk anak-anak muda yang telah menjalanimasa studinya disekolah-sekolah menengah pemerintahan dan ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh dan lebih mendalam.
Sementara itu ada kegiatanlain yang sangat penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis, yaitu Lembaga Pendidikan Islam yang merupakan proyek dan atas gagasan Muhammad Natsir, yang terdiri dari beberapa buah sekolah: Taman Kanak-kanak HIS(1930), Sekolah Mulo (1931) dan sekolah Guru (1932).
Lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggungjawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan.

INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN

oleh: Rohmat Anas


A. PENDAHULUAN
Internasionalisasi pendidikan akan mengantarkan kita pada dualisme paradigma pendidikan, yaitu pendidikan dengan nilai-nilai lokal dan internasional. Dominasi pendidikan yang mengusung bendera internasionalitas secara tidak langsung akan merendahkan martabat bangsa sendiri. Menipisnya rasa kebangsaan yang akan menyebabkan kehilangan jati diri bangsa.
Banyak orang masih sulit mendefinisikan tempat belajar yang isinya orang-orang Indonesia dengan pluralitas mental dan latar belakang dalam konteks world class (kelas dunia). Sayangnya, masih banyak yang berpikir bahwa internasionalitas pendidikan ditandai dengan berbahasa Inggris di dalam kelas, menerima mahasiswa-mahasiswa dari luar negeri, mewajibkan guru untuk sekolah di luar negeri, dan membuat kerjasama-kerjasama dengan pendidikan luar negeri. Tentu konsep internasionalisasi dalam pendidikan ini tidak sesederhana dan semudah yang kita kira. Jangan lupa bahwa internasionalitas dasarnya adalah mental manusianya yang harus siap dengan sebuah perubahan tanpa harus menghilangkan nilai-nilai luhur budaya lokal.
Kemendiknas melaksanakan program berupa Sekolah berstandar Internasional (SBI) maupun Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), sedangkan Kementerian Agama membuat Madrasah berstandar Internasional (MBI) maupun Rintisan Madrasah Berstandar Internasional (RMBI). Fokus kementerian ini sama, tetapi cara penyiapannya berbeda, yaitu menginternasionalkan pendidikan.
Berkualitas dapat diterjemahkan menjadi unggul dalam sistem proses belajar mengajar, up to date dengan teknologi informasi, dan mampu menghasilkan lulusan yang handal. Bagaimana bentuk konkret dari pengaruh globalisasi dan internasionalisasi di kehidupan pendidikan di Indonesia. Contoh nyata pengaruh globalisasi sudah dirasakan sejak satu dekade terakhir negara maju dapat dapat dengan bebas masuk dan mendirikan perguruan tinggi di Indonesia. Kurikulum dan proses belajar mengajar pun diadopsi dari negara asal tanpa harus mengikuti aturan dari Departemen Pendidikan Nasional begitu juga dengan para guru yang didatangkan dari luar.
Seiring dengan masuknya pengaruh globalisasi, banyak juga sekolah/perguruan tinggi di Indonesia yang telah menerapkan strategi internasionalisasi untuk mempertahankan mutu dan tetap bertahan di masyarakat. Perguruan Tinggi kita belum mampu mempekerjakan dosen asing. Cara yang dapat dilakukan dapat berbentuk kegiatan pertukaran dosen dan mahasiswa, joint program studi dengan menawarkan kuliah di luar negeri untuk semester tertentu, program dual degree dan joint research untuk bidang tertentu dan sebagainya.
Internasionalisasi ini dilakukan sebagai antisipasi untuk dapat bertahan dengan pendidikan asing yang masuk di Indonesia. Jadi sebenarnya pengaruh dari globalisasi yang menyebabkan dunia pendidikan kita melakukan internasionalisasi karena jelas belum mampu negara berkembang seperti Indonesia dapat bersaing dengan negara maju baik dari segi modal, sumber daya manusia, dan teknologi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Internasionalisasi Pendidikan
Berbagai pendapat berkembang dalam masyarakat terkait istilah internasionalisasi dalam bidang pendidikan. Yang jelas, meskipun terdapat perbedaan persepsi di antara kita. Sekolah Internasional merupakan salah satu pendidikan khusus yang mempunyai kurikulum khusus, dan diajar oleh guru-guru yang juga berasal dari berbagai negara atau guru-guru yang mempunyai kapasisitas profesional internasional. Sehingga memberikan suasana internasionalisasi yang sangat kental dalam seuatu pendidikan.
Ada yang mengartikan, sebenarnya internasionalisasi pendidikan bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional, juga bukan hanya pada kulitnya. Harusnya internasionalisasi pendidikan tidak hanya mempromosikan penggunaan bahasa asing. Internasionalisasi pendidikan harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang berwarga negara internasional atau istilahnya sebagai global citizen. Jadi internasionalisasi pendidikan bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya, berupa pembelajaran.
Dalam internasionalisasi pendidikan, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Program yang benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya yakni dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari mata pelajarannya, Bahasa Ibu, dalam hal ini Bahasa Indonesia bila diterapkan di Indonesia, masih harus dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal dan harus tetap diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya.
Namun pada saat bersamaan, program internasionalisasi ini juga dapat membuat anak didik untuk berpikir secara internasional dengan cara mengajak mereka untuk peduli akan situasi yang ada di dunia luar Act locally, think globally. Juga dengan cara mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan dengan cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan yang lebih baik. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik. Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata. Dalam internasionalisasi pendidikan, para pendidik harus pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga belajar nilai.
2. Standar Internasionalisasi Pendidikan
International Federation of Accountants (IFAC) pada bulan Oktober 2003 yang lalu telah mengeluarkan 7 (tujuh) standar internasionalsasi pendidikan yang seharusnya berlaku efektif mulai 1 Januari 2005. Standar yang dikeluarkan IFAC ini merupakan panduan global untuk membentuk akuntan yang profesional. Namun pemahaman mengenai isi dan rencana implementasi standar ini di Indonesia belum begitu luas. Diskusi dan sosialisasi masih terbatas di kalangan profesi dan dunia perguruan tinggi. Adapaun standar yang telah dikeluarkan oleh IFAC secara ringkas adalah:
a. Secara fundamental, kualitas suatu profesi tidak dapat dijaga dan dikembangkan apabila seseorang yang akan memasuki profesi tersebut adalah orang yang tidak siap untuk memenuhi standar yang diwajibkan. Itu sebabnya profesi harus menentukan kualitas terbaik bagi seseorang yang akan memasuki pendidikan akuntansi.
b. Untuk meyakinkan bahwa calon akuntan profesional memiliki pengetahuan profesional akuntansi yang cukup untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai Akuntan yang kompeten dalam menghadapi lingkungan yang kompleks dan berubah.
c. Mengatur tentang keahlian profesional serta pendidikan umum bagi Akuntan profesional.
d. Menentukan nilai profesional, etika dan sikap akuntan profesional yang seharusnya diperoleh selama pendidikan supaya memenuhi kualifikasi sebagai akuntan profesional.
e. Mempersyaratkan suatu periode pengalaman praktis dalam melaksanakan pekerjaan sebagai bagian dari program pre kualifikasi Akuntan profesional.
f. Menjelaskan persyaratan penilaian akhir kapabilitas dan kompetensi calon Akuntan sebelum dinyatakan sebagai Akuntan yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.
g. Profesi diharuskan untuk mempromosikan pentingnya pengembangan berkelanjutan kompetensi akuntan dan komitmen untuk belajar seumur hidup bagi seluruh akuntan profesional.
Standar yang disebutkan diatas memberikan gambarkan bahwa, jika suatu lemebaga pendidikan bertaraf internasional harus memenuhi 7 (tujuh) standar yang telah ditetapkan. Keprofesionalan pendidik adalah faktor utama dalam mengembangkan internasionalisasi dalam pendidikan, disamping aspek-aspek lain yang mendukung untuk mengembangkan mutu pendidikan.
Disamping yang dikemukakan oleh International Federation of Accountants (IFAC) dalam standarisasi internasionalisasi pendidikan, ada juga ISO 9000 yang merupakan model standarisasi kualitas di dunia pendidikan. ISO 9000 sendiri adalah suatu rangkaian dari lima seri standar mutu internasional. Seri tersebut diberi nama sedemikian rupa sehingga terdiri dari 5 (lima) set standar atau kriteria dengan kodifikasi angka berurutan mulai dari 9000. Selain itu masih ada seri 14000 yang merupakan standar internasional bagi pelaksanaan suatu proyek yang berkaitan dengan tanggung jawab proyek itu terhadap lingkungan. Kesemua standar ISO tersebut mempunyai pengertian, maksud dan tujuan yang berbeda-beda, namun dalam penulisan ini hanya membahas tentang ISO 9000 saja, yang secara konseptual dewasa ini mendapatkan perhatian serius dari dunia pendidikan.
Tujuan ISO 9000, Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2002) menyatakan bahwa tujuan utama dari ISO 9000 adalah: Pertama, Organisasi harus mencapai dan mempertahankan kualitas produk atau jasa yang dihasilkan, sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan para pengguna (costumer). Kedua, Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak manajemennya sendiri bahwa kualitas yang dimaksudkan itu telah dicapai dan dapat dipertahankan. Ketiga, Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak costumer bahwa kualitas yang dimaksudkan itu telah atau akan dicapai dalam produk atau jasa yang dijual.
Manfaat yang didapatkan oleh suatu organisasi/institusi yang telah memperoleh sertifikasi ISO 9000 adalah diperolehnya suatu akses yang lebih besar untuk memasuki pasar luar negeri dan memiliki kesesuaian (compatibility) dengan pemasok dari luar negeri. Selain itu ada pula manfaat tambahan lainnya. Proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mencapai sertifikasi cenderung meningkatkan kualitas dan keragaman pekerjaan yang secara bersamaan juga meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan pula daya saing organisasi.
Persyaratan Sertifikasi ISO 9000 Dalam Pendidikan, Edward Sallis dalam bukunya Total Quality Management in Education atau Manajemen Mutu Pendidikan (2007) menyatakan bahwa ada beberapa syarat sebuah organisasi/institusi pendidikan agar bisa mendapatkan sertifikasi ISO 9000, yaitu:
a. Komitmen Manajemen terhadap Mutu dan Sistem Mutu
b. Kontrak dengan Pelanggan Internal dan Eksternal
c. Kontrol Dokumen, Kebijakan Seleksi dan Ujian Masuk
d. Layanan Pendukung Pelajar, yang mencakup Kesejahteraan, Konseling dan Pengarahan Tutorial
e. Catatan Kemajuan Pelajar, Pengembangan, Desain dan Penyampaian Kurikulum Strategi-strategi Pengajaran dan Pembelajaran
f. Penilaian Tes dan Konsistensi Metode Penelitian
g. Prosedur dan Catatan Penilaian yang mencakup Catatan Prestasi
h. Metode dan Prosedur Diagnostik untuk Mengidentifikasikan Kegagalan dan Kesalahan
i. Tindakan Perbaikan terhadap Kegagalan Pelajar, Sistem untuk Menghadapi Komplain dan Tuntutan
j. Fasilitas & Lingkungan Fisik, Bentuk Tawaran Lain, seperti Fasilitas Olah Raga, Kelompok-kelompok dan Perkumpulan Ekstra Kurikuler, Persatuan Pelajar, Fasilitas Pembelajaran, dan lain-lain
k. Catatan Mutu, Prosedur-prosedur Pengesahan dan Audit Mutu Internal
l. Pelatihan dan Pengembangan Staf, mencakup Prosedur-prosedur untuk Menilai Kebutuhan-kebutuhan Pelatihan dan Evaluasi Efektifitas Pelatihan
m. Metode-metode Review, Monitoring dan Evaluasi
Dari standarisasi internasional dalam pendidikan, sebuah lembaga atau institusi diharuskan memenuhi tahap-tahapan yang telah disetandarkan agar memperoleh sertifikat pendidikan internasional.
3. Visi, Misi, dan Tujuan Internasionalisasi Pendidikan
Internasionalisasi pendidikan mempunyai visi untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan banga yang maju, sejahtera, damai, dihormati dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Misi internasionalisasi pendidikan mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional, mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Tujuan internasionalisasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional seperti yang dirumuskan dalam UU.no 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005, dirinci dalam Permendiknas no 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) bahwa baik untuk tingkat SD maupun tingkat SMP dan SMU/kejuruan bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Internasionalisasi pendidikan harus memegang teguh dan mengembangkan jati diri dan nilai-nilai bangsa Indonesia, disamping mengembangkan daya progresif global yang diupayakan secara efektif inkorporatif melalui pengenalan, penghayatan dan penerapan nilai-nilai yang diperlukan dalam era globalisasi, dalam bidang religi, Iptek, ekonomi, seni, solidaritas, dan etika global. Untuk memperlancar komunikasi global, internasinalisasi pendidikan menggunakan bahasa komunikasi global, terutama bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (ICT).
Selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan lokal tanpa harus melakukan banyak perombakan dalam mekanisme kerjanya. Kalau dilihat dari visi, misi, dan tujuannyaIni semestinya tidak perlu merasa khawatir akan akibat internasionalisasi pendidikan.
4. Plus Minus Internasionalisasi Pendidikan
Bagi yang terlibat dalam internasionalisasi pendidikan mengandalkan serangkaian asumsi yang sering tidak didukung oleh data atau bukti. Sebagai contoh, internasionalisasi itu tidak hanya positif tetapi juga sangat relevan sebagai komponen kunci dari perubahan lanskap pendidikan. Ketika ditanya tentang mengapa internasionalisasi penting kita siap untuk membacakan daftar banyak manfaat untuk para siswa, mahasiswa, fakultas, lembaga, dan masyarakat pada umumnya.
Kita berasumsi internasionalisasi memang baik, tapi sering kekurangan data untuk mendukung asumsi terhadap internasionalisasi pendidikan. Kami tidak berpikir terlalu banyak tentang fakta bahwa ada alasan-alasan berbeda mengapa, bagaimana, dan untuk yang tujuan lembaga, atau untuk yang penting, seluruh wilayah, ingin terlibat dalam upaya internasionalisasi.
Di seluruh dunia, ada lima alasan teratas untuk internasionalisasi menjadi sebuah lembaga yaitu untuk kepentingan meningkatkan kesiapan siswa, internasionalisasi kurikulum, meningkatkan profil internasional lembaga, memperkuat penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai contoh, Amerika Utara dan Amerika Latin memberi jauh lebih penting untuk kesiapan internasional siswa dari Eropa. Menariknya, institusi-institusi di Afrika menganggap alasan internasionalisasi lebih penting untuk memperkuat produksi penelitian dan pengetahuan. Sedangkan Timur Tengah memberikan menitik beratkan kepentingan untuk meningkatkan kesiapan siswa dan juga memperkuat penelitian.
Hasil ditunjukkan juga bahwa lembaga-lembaga di Amerika Utara tidak terganggu dengan gagasan meningkatkan profil internasional mereka. Bagi mereka, ini ditempatkan pada tingkat keempat jauh penting dibandingkan dengan, misalnya, Eropa di mana ia alasan kedua yang paling penting. Aku ingin tahu apakah ini dapat dijelaskan oleh beberapa derajat kepicikan, atau perspektif agak egosentris status daerah dalam dunia pendidikan tinggi. Herannya, semua wilayah memberikan suatu kepentingan yang sangat rendah untuk internasionalisasi kampus dengan ide diversifikasi sumber pendapatan atau sebagai respons terhadap kebijakan publik.
Ketika ditanya tentang manfaat paling penting dari internasionalisasi, ada tiga alasan teratas di tingkat global tercantum dalam urutan relevansi adalah: meningkatkan kesadaran internasional siswa, penelitian yang memperkuat produksi pengetahuan, dan memupuk kerjasama internasional serta solidaritas.
Mengenai pertanyaan tentang siapa pendorong internal yang paling penting bagi internasionalisasi meningkat, secara umum, lembaga-lembaga di semua wilayah dunia mengarah pada tanggung jawab pimpinanan yang diteruskan oleh semua yang berkompeten dalam bidang pendidikan.
C. PENUTUP
Internasionalisasi Pendidikan Indonesia diharapkan meningkatkan sumber daya manusia Indonesia khususnya, serta menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Insan-insan muda yang nantinya menadi pemimpin dunia dan negaranya sejak dini berkomunikasi dan berinteraksi dengan bangsa lain, sehingga meningkatkan saling pengertian antar bangsa untuk memajukan seluruh masyarakat dunia secara bersama-sama dengan saling pengertian, seperti cita-cita pendiri bangsa.
Dari uraian yang dipaparkan pada pemebahasan, bisa diseimpulakan bahwa internasionalisasi pendidikan memiliki tiga kerangka kerja yang dominan, yaitu: Global Competency, Academic Capitalism, dan Academic Colonialism. Indonesia dalam melakukan internasionalisasi bidang pendidikan mau merujuk kerangka kerja yang mana? Kalau merujuk Academic Capitalism dan Academic Colonialism, maka Indonesia hanya mengekor ilmu dan teori yang sudah dikembangkan oleh negara-negara barat. Buktinya saat ini Indonesia sedang gencar-gencarnya membuat sekolah internasional, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama.
Demi purubahan dan memajukan pendidikan Indonesia, menurut hemat kami dalam hal ini lembaga, institusi pendidikan atau pemerintah jangan takut akan dampak dari perubahan pendidikan nasional dalam menerapakan internasionalisasi pendidikan. Selagi dalam prosesnya nilai dan kultur budaya kita tidak bergeser dengan adanya internasionalisasi pendidikan. Demikaian makalah kami, semoga bermanfaat.




























Daftar Pustaka

• Administrator. 2007. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Jakarta: Depdiknas
• Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media.
• http://simbos.web.id/berita-pendidikan/internasionalisasi-pendidikan/
• http://www.iaiglobal.or.id/ppa.php?id=5
• http://denovoidea.wordpress.com/2009/02/13/iso-9000-merupakan-model-standarisasi-kualitas-di-dunia-pendidikan/
• Tjiptono, F & Diana, A. 2002. Total Quality Management. Edisi Revisi. Jogjakarta: Penerbit Andi

MASYARAKAT MADANI

Nama : Rohmat
NIM : 14106110060
Jurusan : Manajemen Pendidikan Islam/Semester II
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. H. Jamali Sahrodi, M. Ag

MASYARAKAT MADANI
A. Pendahuluan
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B. Pembahasan
1. Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep civil society. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society (Masyarakat sipil) adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata societies civilis dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
2. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Masyarakat Madani Dalam Sejarah Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
a) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
b) Masyarakat Madinah setelah terjadi perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

3. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
a) Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
b) Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
c) Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
d) Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
e) Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
f) Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
g) Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
h) Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
i) Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
j) Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
k) Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
l) Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
m) Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
n) Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
4. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
a) Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
b) Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
5. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
C. Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan materi yang ada bahwa, di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.











DAFTAR PUSTAKA
• Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.
• Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.
• Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
• Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
• Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
• Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
• Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
• Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta.

AYO BELAJAR

Islam memperkenankan kepada setiap muslim meraih ilmu kimia, biologi, astronomi, kedokteran, industri, pertanian, administrasi, dan kesektariatan, dan sejenisnya dari orang non muslim atau orang mulim yang tidak percaya ketakwaannya. Hal itu boleh dengan syarat tidak ditemukannya seorang muslim yang terpercaya keagamaan dan ketakwaannya yang dapat diambil ilmu darinya.