KARIA ILMIAH

Selasa, 25 September 2012

KOMPETENSI PEMIMPIN


Nabi Muhammad SAW sebagi seorang nabi dan rasul, memiliki otoritas sepiritual. Sehingga kemanapun arah melangkah sudah jelas dan pasti akan tujuannya. Otoritas sepiritual yang berkenaan dengan kemampuan untuk mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk sepiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta.

Nabi Muhammad SAW adalah peribadi yang penuh dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, penuh kasih, kedamaian dan sebagainya adalah misi untuk membantu orang lain demi mencapai otoritas sepiritual. Otoritas spiritual yang digambarkan sebagai kecerdasan sepiritual (fathanah) adalah mutlak dibutuhkan pada diri seorang pemimpin. Pemimpin disini meliputi segala aspek yang berkenaan Negara, organisasi, lembaga, dan bahkan kepala rumah tangga. 


Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Standar Pendidikan Nasional memformulasikan empat kompetensi, yakni kompetensi professional, pedagogis, personal dan social. Sedangkan dalam permendiknas ada kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah yang meliputi; kompetensi keperibadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan social. Di sini, tidak menyebutkan kompetensi kecerdasan spiritual (fathanah) sebagai bagian dari sebuah kompetensi yang yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Manajemen atau pengelolaan sumber daya dalam pendidikan, baik sumber daya manusia ataupun sumber daya non manusia, pada praksinya bergantung kepada bagaimana sesorang menjalankan kepemimpinannya. Kepemimpinan dalam dunia pendidikan sangatlah dipengaruhi oleh kemampuan dan ketrampilan seorang pemimpin dalam melakukan komunikasi serta mengaplikasikan bentuk-bentuk kepemimpinan kepada bawahan.

Disini kita dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan dalam dunia pendidikan. Pada tatanan ralita, jarang sekali kita dapatkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kompetensi kepemimpinan dalam bidangnya, yang pada akhirnya tidak memajukan sebuah lembaga, organisasi atau lainnya kearang lebih positif, dikarenakan pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi standar kompetensi. Diharapkan pemimpin kepala pendidikan yang berkaitan dengan transformasi ilmu, dapat memperbanyak khazanah keilmuan dalam bidang kompetensi pendidikan. Disamping membuka sejarah tentang kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagi seorang pendidik.

Rabu, 19 September 2012

CINTA

Cinta,
Cinta, kadang membuat kita bahagia, kadang membuat kita menangis. Jika karena cinta hidup akan menjadi bahagia maka lakukanlah cinta dengan sepenuh hati, tapi jika karena cinta hanya akan membuat hati duka lara, maka tinggalkanlah cinta dan berpalinglah pada cinta hakiki yakni cinta pada Dzat Tunggal yang memiliki cinta. Sakit karena cinta hal yang biasa dan tak perlu disesali, namun jadikan cinta sebagai awal periode kebangkitan untuk menumbuhkan seribu cinta.

Aneh nian orang karena cinta, berlaku kadang tak rasional dan lepas dari kontrol hingga tak sadar dia adalah kawan. Parahnya lagi cinta dapat membuat telinga menjadi tuli dan  mata menjadi  buta, memeng hidup tak seindah tanpa cinta.

Sobat, jagalah cinta seperti halnya menjaga jiwa dan raga....

Minggu, 16 September 2012

ISLAM LUAS DAN ISLAM SEMPIT


Oleh:
Adang Djumhur S*


Kali ini, saya ingin mengibaratkan Islam sebagai sebuah bangunan rumah. Rumah itu ada yang tipe kecil dan ada yang tipe besar. Rumah tipe besar biasanya memiliki ruangan yang luas-luas, termasuk luas tanahnya. Sebaliknya, rumah tipe kecil, maka ruangan-ruangannya pun kecil dan terasa sempit. Bagaimana pun tipenya, standar rumah biasanya memiliki beberapa ruang: ada ruang tamu, ruang kamar tidur, ruang dapur serta ruang kamar mandi dan WC. Rumah yang tidak ada ruang tamu, atau kamar mandi dan WC-nya, tentu akan dianggap tidak lengkap dan dirasakan tidak nyaman.
Bangunan Islam juga ada yang kecil dan sempit, ada yang besar dan luas. Luas dan sempitnya bangunan Islam tergantung persepsi dan perspektif orang, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain pendidikan dan lingkungan keagamaannya. Ibarat sebuah bangunan, Islam memiliki beberapa ruang. Di antaranya ruang aqidah atau kalam, ruang akhlak, ruang tashawuf, dan ruang fiqh atau hukum. Di dalam bangunan Islam itu, juga ada ruang NU, ruang Muhammadiyah, Persis, Ahmadiyah, MUI, FUI, dan lain-lain. Sebagaimana layaknya sebuah rumah, bangunan Islam dapat dianggap tidak lengkap bila tidak ada ajaran aqidah atau akhlaknya; dan akan dirasakan tidak menarik bila di rumah Islam tidak ada NU atau Muhammadiyahnya.
Ketika orang memasuki sebuah rumah, ia akan melihat banyak hal dalam bangunan bernama rumah itu, tergantung ruang mana yang dimasukinya. Ketika berada di ruang tamu, maka yang akan terlihat adalah fasilitas yang ada di ruang itu, seperti kursi dan meja tamu serta beberapa aksesoris yang ada di sana. Ketika di ruang tengah pasti yang terlihat akan lebih banyak lagi, demikian seterusnya ketika memasuki ruang-ruang lain yang ada dalam bangunan itu, maka yang terlihat adalah benda-benda yang ada pada masing-masing ruang tersebut. Untunglah bila orang berkesempatan melihat seluruh ruangannya, sebab ia akan melihat hampir seluruh benda yang ada dalam bangunan itu. Orang itu boleh jadi akan menyatakan bahwa bangunan itu sangat luas, dan banyak hal di dalamnya. Tentu akan berbeda kesan dan komentarnya, dengan orang yang hanya masuk dan berada di ruang tamu saja, atau yang masuk kamar tidur saja. Orang ini hanya bisa menyebut beberapa benda yang ada di dua ruang itu, yang luas pandangan dan jumlah benda yang dilihatnya terbatas beberapa jenis saja.
Ilustrasi itu dapat digunakan untuk menggambarkan tentang luas dan sempitnya pandangan orang tentang Islam. Orang bisa berbicara tentang Islam seluas atau sesempit pengetahuannya, tergantung seberapa banyak ruang Islam yang dimasukinya, bidang keislaman yang dipelajarinya, dan seberapa lama berada di masing-masing ruang dan bidang kajiannya itu. Ketika orang masuk wilayah kajian fiqh, maka yang nampak itu adalah kitab-kitab dan masalah-masalah fiqh. Sehingga, apa pun akan dilihat dari perspektif fiqh. Akhirnya, mungkin saja orang itu akan berkata bahwa Islam itu tak lain adalah fiqh. Substansi Islam yang paling penting adalah fiqh. Maka, pelajarilah fiqh, sebab fiqhlah yang akan menjadi jalan keselamatan manusia di dunia dan di akhirat. Orang yang masuk bidang aqidah dan tashawuf, tentu akan lebih banyak bertemu dengan kitab-kitab dan guru-guru tashawuf. Ia pun akan menyatakan bahwa subtansi Islam itu adalah tashawuf. Tashawuflah yang akan mengantarkan manusia pada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, bahkan yang dapat mengantarkan pada puncak kebahagiaan yang sejati. Begitulah seterusnya dengan orang yang masuk pada bidang-bidang Islam lainnya.
Orang yang sejak lahir hidup dan dibesarkan di lingkungan NU misalnya, tentu yang terlihat adalah Islam NU. Kitab dan buku-buku yang dibacanya hanyalah kitab dan buku-buku NU. Ia pun memperoleh pelajaran dari guru-guru dan para kiayi NU. Maka, tata cara beribadah, ritual dan aktivitas keagamaannya sesuai dengan tradisi yang hidup dan berkembang di lingkungan jamaah NU. Wajarlah bila kemudian orang itu berpandangan bahwa NU adalah Islam, dan Islam adalah NU. Wajar pula jika kemudian ia berkeyakinan bahwa Islam yang benar adalah Islam NU, bahwa NU-lah satu-satunya jalan keselamatan, maka ia pun berani mati untuk membelanya.
Demikian pulalah sikap orang yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah dan Persis. Islam menurut mereka adalah Muhammadiyah dan Persis. Itulah Islam yang benar; dan itulah satu-satunya jalan keselamatan. Maka, pantaslah bila mereka berseru: “masuklah Muhammadiyah”, kata si Muhammadiyah; dan kata si Persis, “masuklah Persis. Janganlah keluar darinya”. Maka, pantas pula bila kemudian mereka pun melakukan sosialisasi, merekrut anggota dan melakukan pembinaan, bahkan rela berkorban untuk membela dan mempertahankan aqidah dan eksistensi organisasinya itu. Demikian seterusnya dengan orang yang ada pada organisasi keagamaan Islam lainnya.
Persoalannya sekarang, betulkah bahwa Islam itu adalah fiqh? Islam itu adalah akhlak dan tashawuf? Benarkah bahwa Islam itu adalah NU. Islam itu adalah Muhammadiyah dan Persis, atau ormas keagamaan lainnya? Tentu Anda akan menjawab, bahwa Islam tidaklah identik atau sama sebangun dengan fiqh dan akhlak tashawuf, atau bidang kajian Islam lainnya. Islam pasti diyakini lebih luas dari sekedar masing-masing bidang itu. Islam terdari atas berbagai-bagai aspek, di antaranya adalah fiqh dan akhlak tashawuf.
Pertanyaan berikutnya, benarkah Islam itu sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis atau ormas Islam lainnya? Tentu Anda pun akan menjawab, bahwa Islam tidak identik dengan NU atau Muhammadiyah. Islam lebih luas dari sekedar NU, Muhammadiyah, dan Persis. Islam terdiri atas NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla’ul Anwar, MUI, FUI dan sebagainya. Ahmadiyah boleh jadi termasuk di dalamnya. Setidaknya, menurut para pengikutnya. Betul, bahwa semua ormas yang disebutkan tadi adalah Islam, tapi bukan sebaliknya. Islam tidaklah identik dengan NU. Islam bukanlah hanya NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya itu. Maka, seseorang tetap disebut Islam atau Muslim ketika ia masuk atau tidak masuk NU, Muhammadiyah dan Persis, atau yang lainnya. Orang pun bisa masuk Islam melalui atau tidak melalui pintu NU, Muhammadiyah, atau yang lainnya itu. Orang pun boleh berada atau tidak berada di dalamnya, baik sebentar atau berlama-lama, boleh masuk dan boleh keluar, tanpa harus merasa berdosa atau bersalah, apalagi menyalahkan orang lain.
Kalau fiqh atau tashawuf didakwa sebagai bagian dari Islam, maka Islam fiqh atau Islam tashawuf bisa disebut sebagai Islam sempit. Demikian pula dengan Islam NU, Islam Muhammadiyah, atau Islam PUI, itu pun merupakan Islam sempit. Karena, Islam luas di dalamnya meliputi segenap unsur ajaran yang bukan sekedar fiqh dan tashawuf, dan mencakup Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam PUI, dan sebagainya. Luas dan sempitnya Islam itu tergantung perbandingan dan perspektif yang digunakan untuk melihatnya. Makna Islam itu ibarat lingkaran-lingkaran, mulai dari lingkaran yang kecil sampai lingkaran besar. Ibarat pepatah di atas langit ada langit. Maka, seluas apapun pandangan Islam seseorang atau sejumlah orang bisa tetap disebut sebagai Islam sempit, ketika dibandingkan dengan Islamnya Rasul Muhammad dan Gusti Allah yang sangat luas, bahkan mahaluas. Kata Gusti Allah,”Wama utitum minal ilmi illa qalila..”, Tidaklah Aku berikan ilmu kepadamu, kecuali sedikit saja. Termasuk ilmu tentang keislaman. Dengan demikian, maka saya dan Anda, juga yang lainnya, masing-masing hanya memiliki pengetahuan Islam yang sedikit, dan karenanya Islam kita adalah Islam sempit, yang tidak seyogyanya diklaim sama dengan Islamnya Kangjeng Nabi dan Gusti Allah.
Yang ingin dikatakan dalam tulisan ini adalah bahwa Islam itu sangatlah luas. Karenanya, jangan dipersempit dengan kesempitan pandangan seseorang atau sejumlah orang saja. Islam itu luas, jangan direduksi menjadi bidang-bidang kajian tertentu saja. Islam itu luas, maka janganlah dipersempit menjadi organisasi keagamaan tertentu saja. Janganlah pemahaman seseorang atau sejumlah orang tentang Islam didakwa sama sebangun dengan Islam yang dikehendaki oleh Gusti Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman orang atau sejumlah orang tentang Islam hanyalah salah satu kemungkinan benar tentang Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jelasnya, Islam yang luas adalah Islam yang meliputi bidang ibadah dan muamalah, bidang aqidah dan syariah, bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi ajarannya, kitab sucinya, penganutnya, organisasinya, sejarahnya, pemahaman umatnya, dan seterusnya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla’ul Anwar, dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang pelangi dan warna warni, yang mengakomodasi semua nilai benar, segala kebajikan, keadilan, kemaslahatan, kebersamaan, keselamatan dan kedamaian.
Marilah kita membangun rumah Islam yang besar dan luas, agar bisa menampung semua orang yang berminat tinggal di dalamnya, dan kita tidak lagi harus berdesakan dan gulat di ruang sempit. Terhadap mereka yang sudah berada di dalam dan telah menghuni rumah Islam itu selama ini, biarkanlah menikmati suasana kedamaian dan kenyamanannya sendiri, tak perlu kita mengusir-ngusir mereka, hanya karena selera makan kita berbeda. Wallahu a’lam.
________
*Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon



 

Jumat, 07 September 2012

RESUME ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Judul Buku       : Ilmu Pendidikan Islam
Penulis             : Dr. Abdul Mujib, M.Ag
  Dr. Jusuf Mudzakir, M.Si

Resume
ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Buku ini membingkai berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu pendidikan islam dalam keindahaan dan ajaran islam. Aksentuasi pembahasan yang mengarah kepada islam berlandas nilai-nilai Ilahiyah ini dibuka dengan pengantar tentang pendidikan islam (sumber, dasar, dan tujuan), berlanjut kepada keduudkan, ugas, kompetensi, serta kode etik pendidik dan paradigma, sifat, sertra etika pesrta didik dalam pendidikan islam, kemudian dengan ditutup dengan pembahsan seputar kurikulum, metode, evaluasi, dan kelembagaan dalam pendidikan Islam.
Koomprehentifitas pembahasanya menyuguhkan wawasan pendidikan islam dalam potret yang utuh yang memungkinkan pembaharuan dan penyempurnaan aplikasi sitem pendidikan berbasis islam yang sudah pernah ada.
Deskripsi mengenai topik ini dapat dimulai dengan pertanyaan, Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma ilmu pendidikan? Apakah masalah-masalah pendidikan yang merupakan lapangan kehidupan objektif, empiris dan praktis manusia dapat dikaji melalui postulasi Islam? Bukankah hal itu hanya akan melahirkan teori-teori yang mengambang?
Satu sisi pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Ilahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultural manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris dan pragmatis. Namum di sisi yang lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatik, seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.
Pemahaman tentang pendidikan islam dapat diawali dari penelusuran pengrtian pendidikan ilsm, seabb dalam pengertian terkandung indikator-indidkato esensial dalam pendidikan. Upaya peenlusuran pengertian pendidikan islam kiarnya tepat apabila kita menggunkan metodologi sitematik Izutsu. Menurut Izutsu terdapat tiga prosedur untuk mengali hakikat sesuatu dari alquran. Pendidkan dalam wacana keislaman lebih populer denganistilah tarbiah, ta’lim, ta’bid, riyadhah, irsyad, dan tadris.
Sumber pendidikan islam yang dimaksudkan disini adalah semua acuan dan rujukan yang darinya memencarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ditransinternalisasikan dalam pendidikan islam sumber ini tentunya teklah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar aktifitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu kewaktu.
Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh, paripurna atau syumun, memerlukan suatu dasar yang kokoh. kajian tentang pendidikan Islam tidak lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu :
a.       Al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
b.      As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan rasul.
Maka dari pada itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelasan terhadap beberapa pembenaran dan mendesak untuk segara ditampilkan yaitu :
         a)         Menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
         b)         Sunnah mengkhitmati Al-Qur’an.
         c)         Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqoha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara’ dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang. Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan bersifat struktural dan intitusional. Arti dan tujuan struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertikal maupun segi horizontal. 
Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional (saling memengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan intitusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal, informal, dan nonformal dalam masyarakat. Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 
·     Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa. 
·    Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung didefinisikan sebagai: “ suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akherat. 
Pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam haruslah selaras dengan tujuan risalah Islam, sejalan dengan tujuan syari’at Islam. Karena itu tujuan pendidikan Islam harus bersifat universal dan selalu aktual dengan segala zaman, sebagaimana selalu aktualnya ajaran Islam, sehingga tujuan syari’at Islam yang hendak mewujudkan rahmatan li al-alamin benar-benar dapat direalisasikan. 
Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal (insan kamil) yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu: pertama sebagai Hamba Allahdan kedua, khalifatulloh.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian metode di atas, beberapa hal yang harus ada dalam metode adalah :
1)      Adanya tujuan yang hendak dicapai
2)      Adanya aktivitas untuk mencapai tujuan
3)      Aktivitas itu terjadi saat proses pembelaran berlangsung
4)      Adanya perubahan tingkah laku setelah aktivitas itu dilakukan.
Ada istilah lain yang dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi. Pendekatan merupakan pandangan falsafi terhadap subject matter yang harus diajarkan dapat juga diartikan sebagai pedoman mengajar yang bersifat realistis/konseptual. Sedangkan teknik/strategi adalah siasat atau cara penyajian yang dikuasai pendidik dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan baik.
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umummetode pendidikan Islam. Sebab  metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Dasar metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah dasar agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.
Dasar Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
Dasar Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
Dasar Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dasar sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini.
Perbincangan tentang evaluasi, tidak bisa dilepaskan dari tiga istilah; pengukuran, penilaian, evaluasi. Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, berarti membandingkan suhu badan itu dengan patokan ukuran suhu yang ada pada termometer tersebut.
Dalam dunia pendidikan, pengukuran adalah pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Proses pengumpulan ini dilakukan untuk menaksir apa yang telah diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran selama waktu tertentu. Proses ini dapat dilakukan dengan mengamati kinerja mereka, mendengarkan apa yang mereka katakan serta mengumpulkan informasi yang sesuai dengan tujuan melalui apa yang telah dilakukan siswa.
Penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. Informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Menurut Djemari Mardapi penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif dari pengukuran, kemudian ditafsirkan dalam bentuk nilai.
Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat merambah ke ranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan Barat. Ketiga, dengan menjadikan Islam sebagai paradigma, maka keberadan ilmu pendidikan memilih ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Pembahasan konsep dan teori tentang pendidikan sampai kapan pun selalu saja relevan dan memiliki ruang yang cukup signifikan untuk ditinjau ulang. Paling tidak terdapat tiga alasan mengapa hal itu terjadi: Pertama, pendidikan melibatkan sosok manusia yang senantiasa dinamik, baik sebagai pendidik, peserta didik maupun penanggung jawab pendidikan; Kedua, perlunya akan ivonasi pendidikan akibat perkembangan sanis dan teknologi; Ketiga, tuntutan globalisasi, yang meleburkan sekat-sekat agama, ras, budaya bahkan falsafah suatu bangsa. Ketiga alasan itu tentunya harus diikuti dan dijawab oleh dunia pendidikan, demi kelangsungan hidup manusia dalam situasi yang serba dinamik, inovatif dan semakin mengglobal.
Buku yang ada di hadapan anda ini merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan yang dialami umat Islam atau bahkan umat manusia. Aksentuasi pembicaraan buku ini lebih mengarah pada pendidikan yang berlandarkan nilai-nilai Ilahiyah (ketuhanan), spiritual dan akhlak, sekalipun melibatkan seluruh komponen dasar dalam pendidikan. Penekanan pada aspek ini disebabkan oleh paradigma penyusunan buku ini didasarkan atas nilai dogmatika Islam yang diturunkan dari wahyu Ilahi. Meskipun demikian, buku ini tidak dimaksudkan menafikan sumber-sumber, tujuan-tujuan serta komponen-komponen lain dalam pendidikan, sebab bagaimanapun juga pembahasan pendidikan selalu saja menggunakan pendekatan sistem, yang masing-masing komponennya saling terkait.

AYO BELAJAR

Islam memperkenankan kepada setiap muslim meraih ilmu kimia, biologi, astronomi, kedokteran, industri, pertanian, administrasi, dan kesektariatan, dan sejenisnya dari orang non muslim atau orang mulim yang tidak percaya ketakwaannya. Hal itu boleh dengan syarat tidak ditemukannya seorang muslim yang terpercaya keagamaan dan ketakwaannya yang dapat diambil ilmu darinya.