Oleh : Rohmat Anas
BAB I PENDAHULUAN
Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya menimbulkan pro dan kontra dikalangan ulama. Sebagian mereka yang berfikir maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat bahkan menolaknya. Ada juga sebagian yang memilah-milah tentang keberadaan filsafat, dalam artian diperbolehkan mempelajari dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi orang yang akan mempelajari filsafat.
Barangkali kita sepakat bahwa dengan mengkaji metodologi penelitian filsafat yang dilakukan para ahli, kita ingin meraih kembali kejayaan Islam di Bidang Ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah dialami di zaman klasik. Hal ini terasa lebih diperlukan pada saat bangsa Indonesia menghadapi tantangan zaman pada era globalisasi yang demikian berat. Untuk itu, pada bab ini kita akan mengkaji berbagai metode dan pendekatan yang digunakan para ahli dalam meneliti filsafat, dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian filsafat.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Islam
Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan Islam. Kata filsafat dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya kata Islam berasal dari kata bahasa Arab aslama, yuslimu, islaman yang berarti patuh, tunduk, pasrah, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran –ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek yang diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selanjutnya apakah yang dimaksud dengan filsafat Islam itu? untuk ini terdapat sejumlah pakar yang mengemukakan pendapatnya. Musa Asy’ari, misalnya, mengatakan filsafat islam itu pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan histories terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam, agar dunia pemikiran Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Lebih lanjut Musa Asy’ari berpendapat bahwa filsafat islam dapat diartikan juga sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman. Selanjutnya dijumpai pula pengertian Filsafat Islam yang dikemukakan oleh Amin Abdullah. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “meskipun saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa filsafat Islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli begitu saja dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat Islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya –karya filosof Muslim, seperti al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Miskawaih, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd”.
B. Pemikiran Filosof Muslim
a. Al-Kindi (158 H/ 801 M – 525H/ 861 M.)
Menurut Al-Kindi filsafat adalah pengetahuan yang benar, sedang agama menerangkan tentang apa yang benar. Jelas ada perbedaan antara filsafat dan agama, keduanya bertujuan untuk menerangkan apa yang benar dan yang baik. Agama disamping menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat, hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan daripada argumen filsafat.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, Unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh dan bergerak. Ia hanyalah keesaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran filsafat Al-Kindi ialah:
1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersam-sama dalam soal etika.
5. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
6. Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya Ia mempunyai kepribadian sendiri.
b. Al-Farabi ( 258 H/ 870 M – 339 H/ 950 M),
Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya. Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain. Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini). Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.
c. Ibn Miskawaih (320 H./ 923 M – 421 H./ 1030 M.)
Konsep Manusia Menurut Ibn Miskawaih adalah penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyah), dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqah). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran. Ajaran Pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih berpangkal pada teori Jalan Tengah (Nadzar al-Ausath) yang dirumuskannya. Inti teori ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya bernafsu adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu (al-Syarah) dan mengabaikan nafsu (Khumud al-Syahwah). Posisi tengah daya berani adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak antara pengecut (al-Jubn) dan nekad (al-Tahawwur). Posisi tengah daya berfikir adalah al-Hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara kebodohan (al-Safih) dan kedunguan (al-Balah). Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan (al-‘Adalah). Keadilan ini merupakan posisi tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya. Selanjutnya setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar.
d. Ibn Sina ( 370 H/ 980 M. – 428 H/ 1037 M)
Pola pikir Ibnu Sina, percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur yaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembab, sejuk, panas, dan kering serta senantiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesehatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan saja dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina juga mengenai kesehatan dan perobatan, tetapi juga bidang filsafat. Ibnu Sina berpendapat bahawa matematika boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu pernah dikemukakan oleh ahli filsafat Yunani seperti Pythagoras untuk menguraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barangan mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan fahaman Ibnu Sina sebagai sesat dan lebih rusak daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An-Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahawa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibahagikan dengan apa-apa cara sekalipun. Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan. Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud sebab Dia berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya. Pemikiran filsafat dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab "Himah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan.
Pemikiran Ibnu Sina ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu percobaan untuk membahaskan zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli Filsafat) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.
e. Al-Ghazali (450 H/1058 M. - 505 H/ 1111 M)
Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya tentang hakekat manusia, yang berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal (aql). Walaupun Al-Ghazali kurang senang dengan filsafat dan ahli filsafat tetapi dalam buku Maqasid al Falasifah, beliau telah mengemukakan kaedah filsafat untuk menghuraikan persoalan yang berkaitan dengan logik, ketuhanan, dan fizikal. Menurut Al-Ghazali, filsafat boleh dibagi pada enam ilmu pengetahuan ialah matematik, logik, fizik, metafizik, politik, dan etika. Bidang-bidang ini kadangkala selaris dengan agama dan kadangkala pula sangat berlawanan dengan agama.
Namun begitu, agama Islam tidak menghalang umatnya daripada mempelajari ilmu pengetahuan tersebut sekiranya mendatangkan kebaikan serta tidak menimbulkan kemudaratannya. Umpamanya agama tidak melarang ilmu matematik kerana ilmu itu merupakan hasil pembuktian fikiran yang tidak boleh dinafikan selepas ia difahami. Cuma bagi Al-Ghazali, ilmu tersebut boleh menimbulkan beberapa persoalan yang berat. Antaranya ialah ilmu matematik terlalu mementingkan logik sehingga boleh menyebabkan timbul persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan khususnya mengenai perkara yang tidak dapat diuraikan oleh akal fikiran. Menurut Al-Ghazali tidak salah berpegang kepada logik tetapi yang menjadi masalahnya ialah golongan filsafat yang terlalu berpegang kepada logik, hendaklah membuktikan fakta termasuk perkara yang berhubung dengan ketuhanan atau metafizik. Sebab itulah beliau menentang golongan ahli filsafat Islam yang cuba mengungkap kejadian alam dan persoalan ketuhanan menggunakan pemikiran daripada ahli filsafat Yunani. Beberapa orang ahli filsafat Islam seperti Ibnu Sina dan al-Farabi jelas terpengaruh akan idea pemikiran filsafat Aristotles. Maka tidak heran ada pandangan ahli filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam yang bisa menyebabkan kesesatan dan syirikan.
Terdapat tiga pemikiran filsafat metafizik yang menurut Al-Ghazali amat bertentangan dengan Islam yaitu qadimnya alam ini, tidak mengetahui Tuhan terhadap perkara dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasad atau jasmani.
Al-Ghazali menganjurkan supaya umat Islam mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber yang utama bukannya melalui proses pemikiran dan akal semata-mata. Jadi, apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali ialah memaparkan kesalahan dan kepalsuan bidang pengetahuan yang bersenderankan dengan agama serta bertentangan dengan pendirian umat Islam. Sekaligus menunjukkan bahawa Al-Ghazali sebenarnya merupakan seorang ahli filsafat Islam yang mencari kebenaran dengan berpedoman pada al-Quran dan hadis, tidak sebagaimana apa yang ada pada pemikiran logika sebagai mana yang ada pada filsafat Yunani.
f. Ibnu Rusyd ( 520H/ 1126 M- 595 H/1198 M).
Pemikiran dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al awwal), sifat positif yang diberikan oleh allah adalah akal. Wujud allah adalah Esa-nya. wujud dan ke Esa-annya tidak berbeda dengan zat-nya
Dalam pembuktian adanya Tuhan sendiri, golongan Hasywiyah, Shufiyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lainnya.dengan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata kata syari’i sesuai dengan kepercayaan mereka. Golongan hasywiyah misalnya mereka berpendapat bahwa cara mengenal tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran) saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada riwayat-riwayat syar’i yang muttashil tanpa menggunakan ta’wil. Ibnu rusyd menolak jalan pikiran yang demikian, karenanya Islam mengajak kita untuk memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran kita.
Cara mengenal tuhan menurut golongan tasawuf adalah bukan berupa pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan, akan tetapi melalui jiwa yang ketika terlepas dari hambatan-hambatan duniawi dan menghadapkan pikiran pada zat yang maha mengampuni. Ibnu rusyd mengatakan bahwa keterangan tersebut pun tidak bisa diperlakukan untuk umum, karena derajat keimanan manusia tidaklah bisa disama ratakan.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang-orang khusus yang terpelajar.
g. Ibn Bajjah (1082 M - 553 H/ 1138 M)
Menurut Ibnu bajjah, segalah yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah disebut dengan ‘aql.
Disinlah letak kelebihan ibnu bajjah walaupun ia berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia kembali kepada ajaran islam. Dasar filsafat aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia zatiomasih bersifat empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan argument metafisika aristoteles. Karena itu , menurutnya Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam.
h. Ibnu Tuffail (1105 M –1185 M.)
Pola pikir ibnu tuffail tentang Apakah dunia itu kekal, atau diciptakan dari ketiadaan atas kehandak-Nya?. Inilah salah satu masalah penting yang paling menantang dalam filosofis muslim. Ibnu Tufail sejalan dengan kemahiran dialektisnya menghadapi masalah itu dengan tepat. Dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, dan dia juga tidak berusaha mendamaikan mereka. Dilain pihak dia mengecam dengan pedas pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis.
Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan tidak mungkin ada sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Tidak ada sesuatupun ada sebelum Dia, dan segala sesuatu pasti ada dan akan terjadi atas kehendak-Nya.
Penciptaan dunia yang lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta yang mesti bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dunia tak bisa maujud dengan sendirinya, pasti dan harus ada penciptanya. Jika Tuhan bersifat material, maka akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai pencipta yang tidak berwujud benda, dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak bisa mengenali-Nya lewat indera kita atau lewat imajinasi. Sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Berdasarkan pendapat diatas, Filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya sebagai berikut :
Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani atau filsafat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio).
Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi yang disebut bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia, kehidupan akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya. kecuali masalah dzat Tuhan.
Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis.
Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarah, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti Al-Kindi, Alfarabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajjah.
Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf , sejarah kebudayaan Islam dan Pendidikan Islam.
Berbagai bidang yang menjadi garapan filsafat Islam telah diteliti oleh para ahli dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan secara seksama, dan hasilnya telah dapat kita jumpai saat ini. Beberapa hasil penelitian tentang filsafat islam tersebut perlu dikaji, selain bahan informasi untuk mengembangkan wawasan kita mengenai filsafat Islam, juga untuk mengetahui metode dan pendekatan yang digunakan para peneliti tersebut, sehingga pada gilirannya kita dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam dalam rangka menjawab berbagai masalah yang muncul di masyarakat.
C. Metodologi Filsafat bagi Studi Islam
Studi Islam atau di Barat terkenal dengan “Islamic Studies” secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu usaha untuk mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan kata lain, Studi Islam adalah usaha secara sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami Islam secara utuh, baik dari ajarannya, sejarahnya, praktik pelaksanaan dalam kehidupan secara utuh, sepanjang Islam itu hadir dan berkembang. Untuk itu, diperlukan metodologi dan pendekatan dalam studi Islam, menurut Abuddin Nata bahwa ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam kajian-kajian ke-Islaman:
• Pedekatan Teologis: pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol kegamaan yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar.
• Pendekatan Antropologis: suatu upaya dalam memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
• Pendekatan Sosiologis: yakni dengan melihat kepada keadaan masyarakat lengkap dengan strukturnya, lapisan serta berbagai gejala sosial yang saling berkaitan.
• Pendekatan Filosofis: upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu di balik formanya.
• Pendekatan Historis: yaitu mempelajari Islam melalui kajian peristiwa masa lalu dengan melacak kapan peristiwa tersebut terjadi, dimana, prosesnya, partisipannya dengan menggunakan pendekatan sejarah, maka seorang akan diajak untuk melihat realita yang terjadi dalam masyarakat, baik itu sejalan dengan ide-ide agama ataupun yang senjang dari ide-ide agama tersebut. Pendekatan sejarah tidak hanya meneliti peristiwa sukses, tapi juga peristiwa kegagalan.
• Pendekatan Kebudayaan: yaitu penelitian yang dilakukan terhadap pengamalan agama yang terdapat dalam masyarakat yang diproses oleh penganutnya dari sumber-sumber agama.
• Pendekatan Psikologis: dimana dengan pendekatan ini akan diketahui tingkat keagamaan seseorang, pengamalannya, bahkan dapat digunakan untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan umur dan bakatnya. Selain itu dalam kajian pendekatan dalam pengkajian Islam juga dikenal beberapa pendekatan lain seperti pendekatan fenomenologis, komparatif, studi wilayah dan pendekatan post-modernisme.
Sedangkan metode dalam studi Islam yaitu :
a. Metode diakronis yaitu metode mempelajari Islam dengan menonjolkan aspek sejarah yang memungkinkan adanya studi komparasi antara penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga kaum Muslimin mampu menelaah kejadian sejarah.
b. Metode Sinkronis-Analitis yaitu metode mempelajari Islam dengan analisis teoritis dan telaah teoritis.
c. Metode Problem Solving yaitu metode mempelajari Islam dari sudut pandang bahwa Islam mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya
d. Metode Empiris adalah metode mempelajari Islam sebagai agama yang memungkinkan pemeluknya mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, aktualisasi dan internalisasi norma serta kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi hingga menimbulkan interaksi sosial.
e. Metode Deduktif ialah metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah secara logis dan filosofis
f. Metode Induktif ialah memahami Islam dengan cara menyusun kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah Furu’iyah.
D. Signifikasi dan Kontribusi Filsafat bagi Studi Islam
Kalau kita melihat kepada pendekatan dan metode studi Islam diatas, maka filsafat Islam mempunyai peran sangat signifikan dan kontribusi sangat penting bagi studi Islam terutama dunia Barat yaitu:
Adanya pendekatan filosofis dalam studi Islam, yang membuka jalan bagi dunia barat untuk memahami Islam dari pemikiran filosof Islam terutama folsof Islam yang sangat dikenal dunia barat, seperti Ibnu Sina terkenal di Barat dengan sebutan Avicenna yang karyanya “al-Qanun al-Masyiriqiyah” pernah menjadi buku standar di universitas di Eropa sampai akhir abad tujuh belas masehi, Ibnu Bajjah yang beberapa risalahnya tentang filsafat Islam masih tersimpan di perpustakaan Escurial Spanyol, Ibnu Rusyd yang merupakan Filosof Islam sangat populer di Eropa serta karyanya saat ini masih tersimpan di Spanyol, Italia dan Jerman. Dalam Islam ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran sangat diutamakan dan didorong, oleh karena itu filsafat Islam berkembang dengan pesat bukan hanya berbicara metafisika, juga berbicara ilmu pengetahuan seperti fisika, matematika, kedokteran, astronomi dan lainnya. Disini filsafat juga punya kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga metode Problem Solving dapat dipakai dalam studi Islam. Yang paling penting adalah, kemajuan ilmu pengetahuan dan sains Barat, tak lepas dari sumbangan pemikiran filosof Islam. Al-Ghazalli, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd sangat berjasa besar menghantarkan masyarakat Eropa bangkit dari zaman kegelapan. Bahkan pemikiran Ibnu Rusyd berubah menjadi sebuah gerakan Averroisme yang pengaruhnya sangat besar, sehingga filsafat Ibnu Rusyd menjadi arus utama pemikiran di Eropa. Dengan demikian, seluruh pendekatan dan metodologi dalam studi Islam di Eropa yang bersandarkan dari ilmu pengetahuan tak lepas berkat jasa filsuf Islam lewat pemikiran (filsafat) mereka, yang dipelajari, diadopsi dan dibawa ke Barat serta berkembang disana.
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan Pengertian filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermcam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam. Berdasarkan beberapa pemikiran, filsafat Islam dapat diketahui melalui 5 cirinya:
1. Dilihat dari segi sifat dan corak Filsafat Islam
2. Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya
3. Dilihat dari segi datangnya
4. Dilihat dari segi yang mengembangkannya
5. Dilihat dari segi Tingakatan/ kedudukannya
Berbagai hasil penelitian yang dilakukan para ahli mengenai filsafat Islam tersebut memberi kesan kepada kita, bahwa pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan bacaan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan pada umumnya bersifat deskriftif analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan dan substansial.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (PT, Raja Grapindo Persada,
Jakarta1998)
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (PT. Remaja Rosda Karya, 1998)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Partama, 2001)
http://mulkans.wordpress.com/2010/05/28/studi-filsafat-islam-2/
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar