KARIA ILMIAH

Minggu, 29 Januari 2012

Demokrasi Dalam Pendidikan

A. Pendahuluan
Pendidikan dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi. Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah yang memegang peranan penting sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini. Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive acceptance). Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri.
B. Topik Pembahasan
1. Perjalanan Kebijakan Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis–kalau tidak dapat disebut liberal–ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri–dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya.
Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri”. Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan otoriter” demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini "too much science too little faith", lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
2. Demokratisasi dan Desentralisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah baik pusat maupun daerah.
3. Urgensi Desentralisasi Pendidikan
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.
C. Penutup
Kerana demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa reformasi sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat ini. Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca orde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yangmenentukan kiprah bangsa ini di masa depan. Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegarayang menuju kearah civil society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi, pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsa atau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun, termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang.
Wallahu’alam bisshowab.

Daftar Pustaka
• Alisjahbana, Armida S. “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”, Bandung : FE Universitas Padjadjaran, 2000
• Budiono, “Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Pendidikan”, Jakarta: Pusat Penelitian Sains dan Teknologi, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
• Patrinos, Harry A. dan David L. Ariasingam, “Decentralization of Education: Demand-Side Financing”, Washington DC: World Bank, 1997
• Republik Indonesia, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Oktober
• Suryadi, Karim, “Demokratisasi Pendidikan Demokrasi”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYO BELAJAR

Islam memperkenankan kepada setiap muslim meraih ilmu kimia, biologi, astronomi, kedokteran, industri, pertanian, administrasi, dan kesektariatan, dan sejenisnya dari orang non muslim atau orang mulim yang tidak percaya ketakwaannya. Hal itu boleh dengan syarat tidak ditemukannya seorang muslim yang terpercaya keagamaan dan ketakwaannya yang dapat diambil ilmu darinya.